A.
Pengertian
Hasud
Kata hasud dalam bahasa Arab berarti orang yang memilki sifat
dengki. Dengki adalah satu sikap mental seseorang tidak senang orang lain
mendapat kenikmatan hidup dan berusaha untuk melenyapkannya, sifat ini harus
dihindari oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah SAW telah bersabda:
Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya:
“Telah masuk ke tubuhmu penyakit-penyakit umat tedahulu, (yaitu) benci dan
dengki, itulah yang membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut.” (HR
Ahmad dan Turmidzi)
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa hancurnya agama sejak
dahulu adalah disebabkan oleh timbulnya sifata benci dan dengki diantara
pemeluknya. Betapa kejinya sifat benci dan dengki apabila berkembang
ditengah-tengah masyrakat apalagi di sekolah. Sifat tersebut dapat
menghancurkan nama baik sekolah dan sudah dapat dipastikan sekolah tersebut
akan menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa seseorang yang dihasudi, tidak akan pernah berkurang rejekinya karena adanya orang yang hasud kepadanya, bahkan seorang yang hasud kepadanya tidak akan pernah mampu “mengambil sesuatu” yang dimiliki oleh orang yang dihasudi tersebut. Oleh karena itu, keinginan orang yang hasud akan hilangnya apa yang diberikan Allah Swt terhadap orang yang dihasudinya itu merupakan perbuatan yang sangat zalim.
Selanjutnya, seorang yang hasud sebaiknya melihat keadaan orang yang dihasudinya. Jika orang yang dihasudinya itu memperoleh kenikmatan duniawi semata, maka sebaiknya dia menyayanginya, bukan bersikap hasud kepadanya, karena apa yang diperolehnya memang sudah ditentukan baginya bukan untuk orang yang hasud tersebut. Bukankah kelebihan harta benda merupakan suatu kesusahan? Seperti yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi: “Seorang pemuda menuturkan ‘kehidupannya’ yang kedua. Yang dibutuhkannya hanyalah yang dimakannya. Sedangkan kelebihan kehidupannya hanya menjadi kesusahan baginya saja”.
Maksud dari perkataan di atas adalah bahwa banyaknya harta benda akan menyebabkan timbulnya perasaan khawatir yang berlebihan dalam dirinya. Seseorang yang memiliki banyak jariya’h (budak perempuan), maka dia akan semakin merasa khawatir kepada mereka atau bahkan banyak menyita perhatian dan pikirannya. Begitu juga dengan seseorang yang sedang berkuasa, dia sangat merasa ketakutan akan dicopotnya jabatan tersebut dari dirinya.
Ketahuilah, bahwa kenikmatan itu seringkali bercampur dengan kesusahan. Kenikmatan mungkin hanya bisa dirasakan sebentar saja, tetapi kesusahan yang mengiringinya mungkin akan dirasakan dalam waktu yang lama, sehingga orang tersebut menginginkan agar kenikmatan itu segera sirna saja atau dia bisa membebaskan diri dari kenikmatan tersebut. Yakinlah, bahwa sesuatu yang membuat seseorang merasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain belum tentu dirasakan oleh orang tersebut seperti yang dibayangkan oleh orang yang hasud tersebut. Banyak orang yang menyangka bahwa para pejabat itu bergelimang dengan kenikmatan. Mereka tidak memahami bahwa jika seseorang sangat menginginkan sesuatu, kemudian dia berhasil memperolehnya, maka sesuatu itu akan terasa biasa-biasa saja baginya, dan dia akan terus mengejar sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi dari itu. Sementara, orang yang hasud hanya memandang semua itu dengan pandangan yang penuh harap dan penuh ambisi. Seorang yang hasud hendaknya mengetahui konsekuensi penderitaan yang mungkin saja dialami oleh orang yang dihasudinya di balik kenikmatan yang semu yang dirasakannya.
Dalam sebuah hadits yang sanadnya bersambung kepada Zubair bin al-‘Awwam, Rasulullah Saw bersabda: “Telah menjalar kepada kalian penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu (penyakit) hasud dan permusuhan. Sifat permusuhan merupakan sesuatu yang bisa merusak dan membinasakan, yakni merusak agama…. Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak dianggap beriman sampai kalian saling mencintai (satu sama lain). Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, maka kalian akan saling menyayangi, sebarkanlah salam di antara kalian”
Perlu diketahui, bahwa seseorang yang dihasudi, tidak akan pernah berkurang rejekinya karena adanya orang yang hasud kepadanya, bahkan seorang yang hasud kepadanya tidak akan pernah mampu “mengambil sesuatu” yang dimiliki oleh orang yang dihasudi tersebut. Oleh karena itu, keinginan orang yang hasud akan hilangnya apa yang diberikan Allah Swt terhadap orang yang dihasudinya itu merupakan perbuatan yang sangat zalim.
Selanjutnya, seorang yang hasud sebaiknya melihat keadaan orang yang dihasudinya. Jika orang yang dihasudinya itu memperoleh kenikmatan duniawi semata, maka sebaiknya dia menyayanginya, bukan bersikap hasud kepadanya, karena apa yang diperolehnya memang sudah ditentukan baginya bukan untuk orang yang hasud tersebut. Bukankah kelebihan harta benda merupakan suatu kesusahan? Seperti yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi: “Seorang pemuda menuturkan ‘kehidupannya’ yang kedua. Yang dibutuhkannya hanyalah yang dimakannya. Sedangkan kelebihan kehidupannya hanya menjadi kesusahan baginya saja”.
Maksud dari perkataan di atas adalah bahwa banyaknya harta benda akan menyebabkan timbulnya perasaan khawatir yang berlebihan dalam dirinya. Seseorang yang memiliki banyak jariya’h (budak perempuan), maka dia akan semakin merasa khawatir kepada mereka atau bahkan banyak menyita perhatian dan pikirannya. Begitu juga dengan seseorang yang sedang berkuasa, dia sangat merasa ketakutan akan dicopotnya jabatan tersebut dari dirinya.
Ketahuilah, bahwa kenikmatan itu seringkali bercampur dengan kesusahan. Kenikmatan mungkin hanya bisa dirasakan sebentar saja, tetapi kesusahan yang mengiringinya mungkin akan dirasakan dalam waktu yang lama, sehingga orang tersebut menginginkan agar kenikmatan itu segera sirna saja atau dia bisa membebaskan diri dari kenikmatan tersebut. Yakinlah, bahwa sesuatu yang membuat seseorang merasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain belum tentu dirasakan oleh orang tersebut seperti yang dibayangkan oleh orang yang hasud tersebut. Banyak orang yang menyangka bahwa para pejabat itu bergelimang dengan kenikmatan. Mereka tidak memahami bahwa jika seseorang sangat menginginkan sesuatu, kemudian dia berhasil memperolehnya, maka sesuatu itu akan terasa biasa-biasa saja baginya, dan dia akan terus mengejar sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi dari itu. Sementara, orang yang hasud hanya memandang semua itu dengan pandangan yang penuh harap dan penuh ambisi. Seorang yang hasud hendaknya mengetahui konsekuensi penderitaan yang mungkin saja dialami oleh orang yang dihasudinya di balik kenikmatan yang semu yang dirasakannya.
Dalam sebuah hadits yang sanadnya bersambung kepada Zubair bin al-‘Awwam, Rasulullah Saw bersabda: “Telah menjalar kepada kalian penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu (penyakit) hasud dan permusuhan. Sifat permusuhan merupakan sesuatu yang bisa merusak dan membinasakan, yakni merusak agama…. Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak dianggap beriman sampai kalian saling mencintai (satu sama lain). Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, maka kalian akan saling menyayangi, sebarkanlah salam di antara kalian”
Dalam hadits lain yang sanadnya bersambung kepada Salim dari
ayahnya, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَبْنِ رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ القُرْانَ فَهُوَ بَقُوْمُ بِهِ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، و رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِى الحَقِّ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَار ِ َ
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَبْنِ رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ القُرْانَ فَهُوَ بَقُوْمُ بِهِ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، و رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِى الحَقِّ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَار ِ َ
“Tidak
diperbolehkan hasud kecuali kepada dua orang, yakni kepada seorang laki-laki
yang diberikan al-Qur’an oleh Allah Swt sedangkan dia mengamalkannya siang dan
malam; dan kepada seorang laki-laki yang diberikan harta oleh Allah Swt lalu
dia menginfakannya di jalan yang benar siang dan malam”. (HR Bukhari dan Muslim)
1. Bahaya Perbuatan Hasud
1. Bahaya Perbuatan Hasud
Sifat hasud sangant membahayakan kehidupan manusia antara
lain:
a.
Merugikan diri sendiri dan orang lain
b.
Mencelakakan orang lain
c.
Menyebabkan hati tidak tenang karena selalu akan
memikirkan bagaimana keadaan itu dapa hilang dari seseorang.
d.
Menghancurkan persatuan dan kesatuan, karena
biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka menfitnah
e.
Menghancurkan kebaikan yang ada padanya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Dari Abu Hurairah katanya: Telah bersabda rasullah SAW : Hendaklah engkau menjauhkan diri dari sifat hasud, sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.” (HR Abu Daud)
Artinya: “Dari Abu Hurairah katanya: Telah bersabda rasullah SAW : Hendaklah engkau menjauhkan diri dari sifat hasud, sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.” (HR Abu Daud)
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa kita diperintahkan menjauhi sifat hasud, karena
sifat hasud dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
2. Cara Menghindari Hasud
2. Cara Menghindari Hasud
Cara menghindari hasud antara lain sebagai
berikut:
a.
Meningkatkan
iman dan takwa kepada Allah SWT
b.
Menyadari
bahwa pemberiya’n dari Allah kepada manusia tidaklah sama, sesuai dengan
kehendaknya
c.
Menyadari bahwa hasud dapat menghapuskan
kebaikan.
B.
Pengertian
Riya’
Riya’ artinya memperlihatkan (menampakkan) diri kepada orang
lain, supaya diketahui kehebatan perbuatannya, baik melalui pembicaraan,
tulisan ataupun sikap perbuatan dengan tujuan mendapat perhatian, penghargaan
dan pujian manusia, bukan ikhlas karena Allah.
Riya’ itu bisa terjadi dalam niat, yaitu ketika akan
melakukan pekerjaan. Bisa juga terjadi ketika melakukan pekerjaan atau setelah
selesai melakukan suatu pekerjaan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ”Di hari kiamat
nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke
neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku, aku ini telah mati
syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?’
Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan
pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.Dan, apabila
pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari
perjuanganmu’.” Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan
ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan
perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus
seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan.
Allah
SWT berfirman:
Artinya:
‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda,
”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu
kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam
yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.” Begitu
dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada
Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah, ”Apabila kamu tidak
menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi, ”Bagaimana menipu Allah itu?”
Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu
untuk selain Allah.” Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara
kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan
orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari
manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun
perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya
tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di
hadapan manusia.
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin
Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas
beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang
ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya
ketika dirinya dicela.” Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ”Takutlah kamu
kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu sifat riya. Kelak di
hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya,
‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal
kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan
pahala dari mereka’?
1.
Riya’ dalam Niat
Riya’ dalam niat, yaitu ketika mengawali pekerjaan, dia
mempunyai keinginan untuk mendapat pujian, sanjungan dan penghargaan dari orang
lain, bukan karena Allah. Padahal niat itu sangat menentukan nilai dari suatu
pekerjaan.
Jika pekerjaan yang baik dilakukan dengan niat karena Allah
maka perbuatan itu mempunyai nilai di sisi Allah. Jika dilakukan karena ingin
mendapat sanjungan dan penghargaan dari orang lain, maka perbuatan itu tidak
akan memperoleh pahala dari Allah. Hanya sanjungan dan itulah yang akan dia
peroleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
اِنَّمَاالأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ … (رواه مسلم)
Artinya: “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.” (HR Muslim)
اِنَّمَاالأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ … (رواه مسلم)
Artinya: “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.” (HR Muslim)
2.
Riya’ dalam Perbuatan
Riya’
dalam perbuatan ini, misalnya ketika mengerjakan shalat dan bersedekah. Orang
riya’ ini dalam mengerjakan shalat biasanya dai memperlihatkan kesungguhan,
kerajinan dan kekhusyukannya jika dia berada di tengah-tengah orang atau
jamaah. Sehingga orang lain melihat dia berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya.
Dari shalat dengan tekun itu mengharapkan perhatian, sanjungan dan pujian orang
lain agar dia dianggap sebagai orang yang taat dan tekun beribadah. Orang yang
riya’ dalam shalatnya akan celaka diakhirat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al Qur’an surat Al Maun ayat 4-7 dan An Nisa ayat 142 :
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.” (QS Al Maun : 4-7)
3.
Bahaya Riya’
Riya’ berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Terhadap
diri sendiri, bahaya riya’ itu di antaranya:
a. Munculnya ketidakpuasan terhadap apa yang dilakukan
b. Rasa hampa dan senantiasa gelisah ketika berbuat sesuatu
c. Menyesal melakukan sesuatu ketika orang lain tidak memerhatikannya
d. Jiwanya akan terganggu karena keluh kesah yang tiada hentinya.
a. Munculnya ketidakpuasan terhadap apa yang dilakukan
b. Rasa hampa dan senantiasa gelisah ketika berbuat sesuatu
c. Menyesal melakukan sesuatu ketika orang lain tidak memerhatikannya
d. Jiwanya akan terganggu karena keluh kesah yang tiada hentinya.
Bahaya riya’ terhadap orang lain akan diolok-olok dan dicaci
oleh orang yang telah dibantu atau memberinya dengan riya’ itu. Dia mengumpat
dan mencaci itu karena keinginan untuk disanjung dan dipuji tidak dipenuhi
sesuai dengan kehendaknya. Orang yang telah diumpat dan dicaci itu pasti akan
tersinggung dan akhirnya terjadilah perselisihan antara keduanya.
Perbuatan riya’ sangat merugikan, karena Allah tidak akan
menerima dan memberi pahala atas perbuatannya. Hal ini tergambar dalam sabda
nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat
adalah seorang yang mati syahid, kemudian dihadapkan dan diperlihatkan
kepadanya nikmat yang telah diterimanya dan iapun mengakuinya. Lantas ditanya:
Dipergunakan untuk apa nikmat itu?, ia menjawab: Aku berperang karena-Mu
sehingga aku mati syahid. Allah menjawab: Dusta engkau, sesungguhnya kamu
berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan
kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparnya ke
dalam neraka.
Kedua, seorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai
berbagai macam kekayaan, kemudian ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya
nikmat yang telah diterimanya itu, dan ia pun mengakuinya. Lantas ditanya:
Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia menjawab: Aku tidak pernah meninggalkan
infaq pada jalan yang tidak engkau ridhai, melainkan aku berinfaq (hanya)
karena-Mu. Lalu Allah menjawab: Dusta engkau sesungguhnya kamu berbuat (yang
demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai dermawan. Kemudian (malaikat)
diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.
Ketiga, seorang yang belajar dan mengajar dan suka membaca Al
Qur’an maka ia dihadapkan dan diperlihatkan nikmat yang telah diterimanya itu
dan ia pun mengakuinya, lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia
menjawab: Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta mambaca Al Qur’an hanya
untuk-Mu (ya Allah). Lalu Allah menjawab: Dusta engkau. Sesungguhnya engkau
menuntut ilmu supaya dikatakan orang pandai dan engkau membaca Al Qur’an supaya
dikatakan sebagai qari. Lalu (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu
dan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR Muslim)
Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat riya’ dalam
perbuatan:
a. Tidak
akan melakukan perbuatan bila tidak dilihat orang lain
b. Beribadah
hanya sekadar ikut-ikutan dan biasanya dilakukan jika ia berada di
tengah-tengah orang banyak
c. Bertambah
ketekunan dan motivasinya dalam beribadah jika mendapat pujian saja
C.
Pengertian
Aniaya
Aniaya adalah perbuatan bengis seperti penyiksaan atau
penindasan. Menganiaya berarti menyiksa, menyakiti dan berbagai bentuk ketidak
sewengan seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan
lain-lainnya
Pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa penganiayan merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Perbuatan itu sama dosanya dengan mencuri, bahkan lebih besar, karena didalamnya terdapat unsur kekerasan. Jika sampai membunuh korbannya maka jelas perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar.
Pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa penganiayan merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Perbuatan itu sama dosanya dengan mencuri, bahkan lebih besar, karena didalamnya terdapat unsur kekerasan. Jika sampai membunuh korbannya maka jelas perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar.
Firman
Allah SWT:
Artinya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414],
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.” (QS Al Maidah : 33)
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa hukuman bagi penganiaya
diberlakukan sesuai dengan jenis perbuatan yang dilakukannya, yaitu sebagai
berikut.
- Jika menganiaya dan membunuh korban serta mengambil hartanya, penganiaya dihukum dibunuh dan disalib
- Jika ia hanya mengambil harta tanpa membunuh korbannya maka hukumannya dihukum potong tangan dan kakinya dengan cara silang.
- Jika ia tidak mengambil harta dan membunuh karena tetangkap sebelum sempat melakukan sesuatu atau hanya menakuti-nakuti saja maka hukumannya adalah dipenjara.
Ada tiga macam bentuk kezaliman, yaitu:
- Zalim terhadap Allah swt, yaitu ingkar (kufur) terhadap Allah. Misalnya mengaku beriman tetapi munafik atau murtad.
- Zalim terhadap diri sendiri, yaitu berbuat kedurhakaan atau melakukan perbuatan maksiat dan dosa pada diri sendiri. Contohnya berzina, minum minuman yang memabukkan, meninggalkan salat, malas belajar, serta tidak menyukuri segala nikmat Allah swt.
- Zalim terhadap sesama makhluk, seperti menyelakai orang lain, merusak tumbuh-tumbuhan (lingkungan hidup), dan menyiksa hewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar